apa motivasi para ulama pesantren mendirikan organisasi nahdlatul ulama
Sebagaiwarga negara Indonesia, terkhusus sebagai warga Nahdlatul ‘Ulama alangkah baiknya kita mengetahui lebih dalam mengenai apa itu Nahdlatul ‘Ulama. Banyak hal yang bisa kita temukan dan kita kaji dalam perkembangan organisasi ini sehingga kita dapat memetik segala hikmah kebaikan yang bisa dijadikan motivasi dan semangat untuk
PersatuanGuru Nahdlatul Ulama (PERGUNU) mempunyai sejarah panjang sejak dirintis pada tahun 1952 sampai sekarang. Pada awalnya, organisasi ini dibentuk atas inisiatif para peserta Konggres Indonesia, yang antara lain memberikan mandat kepada Ma’arif Cabang Surabaya untuk menyiapkan pembentukannya.
Berawaldari ide para putra Nahdlatul Ulama, yakni pelajar dan santri pondok pesantren untuk mendirikan suatu kelompok atau perkumpulan . • Pada tahun 1939 lahir PERSANO (Persatoean Santri Nahdlatoel Oelama). Menghimpun dan membina pelajar Nahdlatul Ulama dalam satu wadah organisasi IPNU. 2. Mempersiapkan kader-kader
Tahun1916, ia mendirikan organisasi Islam bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Kemudian pada 1926, ia ditunjuk sebagai ketua Tim Komite Hijaz yang dikirim ke Makkah untuk bertemu dengan Raja Saud (Arab Saudi), yang bermazhab Wahabi, Ketika itu, gerakan Wahabi di Makkah berencana untuk menghancurkan berbagai situs Islam
Lahirdi Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944, dari keluarga santri. Kakeknya, Kyai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, adalah seorang ulama karismatik termasyur. Istri bernama Marafah Cholil dan dikaruniai 7 anak yakni: 1.
Meilleur Site De Rencontre Au Québec. p> The article endeavors to trace power relationship between muslim religious leaders ulama and islamic boarding school pesantren in the political dynamics of Nahdlatul Ulama NU. Both entity are not only an essential element needed to pressure political and cultural for NU, but also the National Awakening Party PKB as a political party for nahdliyyin. The existence of organizational conflicts that occurred in the PKB also influence the dynamics of the NU that resulted fragmentation among ulama and pesantren. The implication is there a divergence of politics and culture among ulama and pesantren in the base region of Central Java and East Java. Abstract The existence of ulama and dayah in political dynamics in Aceh has occurred for a long time, simultaneously with the development of Islam in Aceh. Ulama in Aceh has been playing as the main actors behind the successful political indicator in many phases, namely; empire phase, independence phase, new order orde baru phase until the phase of reformation. The doctrines played by ulama through religious languages have received great support from people in Aceh. This study employs the qualitative research approach with three main techniques of data collection, namely interview, observation and documentation. The result showed that there has been the participation from ulama and santri dayah in Aceh during 2019 General Election GE. Such participation was reflected from the full support from ulama by calling up the political machine from santri dayah during 2019 GE, and deciding a political attitude by taking side on one of the candidates by holding a fundamental belief that Islam does not forbid ulama to participate in the political practice. Abstrak Eksistensi ulama dan dayah dalam dinamika perpolitikan di Aceh telah berlangsung sejak lama, seiring berkembangnya Islam di Aceh. Dari berbagai fae perkembangan perpolitikan di Aceh, dari fase kerajaan, fase kemerdekaan, fase orde baru hingga fase reformasi telah ditemukan pula indikator suksesnya politik di Aceh akibat permainan aktor utama yaitu ulama . Ulama melalui doktrin-doktrin yang disebarkan melalui bahasa-bahasa agama, sehingga mendapat dukungan penuh dari kalangan masyarakat di Aceh. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data tiga macam cara yaitu wawancara, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat partisipasi ulama dan santri dayah di Aceh pada Pemilu 2019. Partisipasi tersebut tampak terhadap dukungan penuh ulama dengan mengerahkan “mesin politik” yaitu santri dayah terhadap Pemilu 2019, dan mengambil sikap politik berpihak kepada salah satu calon dalam Pemilu 2019 dengan landasan utama berpijak bahwa Islam tidak melarang ulama berpolitik. Keywords ulama, santri, dayah, politics, general election, AcehTaufik AlaminSince the thirteenth century AD, the presence of a new model of Sufism, neo-Sufism, has impacted the infiltration of political identity in the spiritual flow of the tarekat practicing society. The spiritual world of Sufism has experienced a paradigm shift in thinking, from what was originally a movement that balances the hereafter and the worldly things, but in the end this movement is also considered very pragmatic-contextual that enters the socio-political dimension. This article wants to provide a new understanding of how the balanced relationship between Sufism and politics occurs in the Mataraman community, Kediri, East Java. By using the non-participant observer technique, this article produces two things first, the political culture formed in the Kediri Mataraman society has a centralized pattern, where both tarekat congregations and ordinary people devote themselves to any field of social problems to a kiai. Sufi kiai becomes the main role models because they are considered pious people for the Mataraman community. This recognition of the Sufi kiai figure forms a group of socio-political systems. Second, the political pyramid that developed in the people of Kediri City follows a hierarchical-centralized pyramid pattern, where the kiai/murshid tarekat are ordained as the movers and creators of the foremost political culture after the Kediri city government and business bureaucrats. This pattern of social structure becomes the link so that leadership can be achieved and become the material for formulating political the research into Junaid Sulaeman as the most famous Islamic Cleric in South Sulawesi was extensively undertaken, little empirical research addressed his political biography. This research aimed to explore his political Hijrah from Islamic fundamentalism to Islamic moderate. This research adopted a biography study design. To collect data, a documentary analysis based on Junaid Sulaeman’s diary and in-depth interview were conducted. The data analysis was carried out thematically using Azra’s and Al-Jauhari’s concept of fundamental and moderate Islam. The research revealed three findings. First, Junaid Sulaeman’s political Hijrah was conducted from Darul Islam toward Golongan Karya party. Second, the factors that drove Junaid Sulaeman’s participation in the political movement included the changing of socio-political context, the breadth and depth of his religious knowledge, the need to get Allah's guidance, and the consideration of dawah. Third, the implications of Junaid Sulaeman's political movement were known from the expansion of his local and national network, as well as the development of socio-religious institutions in Bone. The research concluded that a good cooperation between the ulama and the government could provide more benefits and blessings to the Law Number 16 of 2019 concerning Amendments to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage raises the minimum age limit for brides from 16 years to 19 years. Responding to this issue, LBM MWC NU Batanghari East Lampung held a bahtsul-masail forum for istinbath al-hukm. Using a qualitative-participatory approach, this article examines the dynamics of the arguments in the forum and finds three crucial issues First, is balig was a prerequisite for a bride and groom? Second, was Aisyah's early marriage common or special? Third, does the State have the authority to restrict marriages? The pro-authority argument rests on the adage of state policy tasharruf al-imam based on maslahah 'ammah. On this basis, the State has the right to prohibit mubah man 'al-mubah, let alone regulating mubah taqyid al-mubah. Meanwhile, the counter argument is based on the privilege of wali as the holder of the right to marry off bride based on nash sharih so the qadhi judge and amir State are no longer authorized. However, the contra camp still affirms the a quo Law because there is marriage dispensation as an exit to achieve individual maslahah. Keywords Indonesia Law Number 16 of 2019, the State's authority, minimum age of bridge, LBM NU, marriage dispensation. Abstrak UU Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menaikkan batas usia minimal calon pengantin 19 tahun pria dan 16 tahun wanita menjadi 19 tahun untuk semua. Menanggapi isu ini, LBM MWC NU Batanghari Lampung Timur menggelar forum bahts al-masail untuk istinbath al-hukm. Dengan pendekatan kualitatif-partisipatif artikel ini mengkaji dinamika argumen dalam forum tersebut dan menemukan tiga isu krusial Pertama, apakah status balig merupakan syarat calon pengantin? Kedua, apakah pernikahan dini Aisyah berlaku umum atau khushusiyah? Ketiga, apakah negara berwenang membatasi perkawinan? Argumentasi pro-kewenangan berpijak pada adagium kebijakan negara tasharruf al-imam berpijak kepada maslahah 'ammah. Dengan basis ini, negara berhak melarang mubah man' al-mubah, apalagi mengatur mubah taqyid al-mubah. Sedangkan argumentasi kontra berpijak pada previlige wali sebagai pemegang hak menikahkan perempuan dengan berlandas nash sharih sehingga qadhi hakim dan amir negara tidak lagi berwenang. Namun, kubu kontra masih mengafirmasi UU a quo karena ada dispensasi nikah sebagai pintu keluar mencapai maslahah individu. Muhammad MuhammadThe aim of article to descriptive relationship between Nahdhatul Ulama institution and change of political culture in Indonesia. The first, explore many terminology of political culture, type of political culture and political behavior. Secondly, this article to analysis ideology of Nahdhatul Ulama and democracy. The last, this article recommended the new role of Nahdhatul Ulama to contribution in change of political culture in Indonesia. Purwo SantosoReligion plays an important but problematic role in complying with the prevailing global standard of liberal democracy. The root of the problem is actually the shortcut in institutionalizing political party as a modern set up for individual participation in public affairs. Despite its institutional defect, political parties officially serve as the only legitimate channel to enter the state through open competition. Hence, the need to win election resulted in mobilization of religious-based support, and religion serves more as commodity for solidarity making, rather than set of fundamental values. This paper examines the political pactices in bringing the principles of both democracy and religion into daily real life. It particularly focuses on the exercises of commoditizing religion by political parties. This commoditization of religion can be taken as clear evidence, the paper argues, that religion is ill-treated by the underperforming political Kiai dalam Dinamika Politik NU. KarsaDaftar Pustaka AbdurrahmanDaftar Pustaka Abdurrahman. 2009. Fenomena Kiai dalam Dinamika Politik NU. Karsa. Volume 15, Nomor 1 dan Perkembangan Nahdlatul UlamaChoirul AnamAnam, Choirul. 1999. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama. Surabaya Bisma Satu Ulama Dalam "KonflikSayfa AchidstiDan TradisiRekonsiliasiAchidsti, Sayfa. 2010. Nahdlatul Ulama Dalam "Konflik", Tradisi, dan Rekonsiliasi. Fikra. Volume 1, Nomor 3 Patricians of NishapurRichard BulietBuliet, Patricians of Nishapur. Cambridge Harvard University Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup KyaiZamakhsyari DhofierDhofier, Zamakhsyari. 1984. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta Sosial Politik Kyai di IndonesiaMiftah FaridlFaridl, Miftah. 2007. Peran Sosial Politik Kyai di Indonesia. Jurnal Sosioteknologi. Volume 6, Nomor 11 dan Perubahan SosialHiroko HorikoshiHorikoshi, Hiroko. 1987. Kiai dan Perubahan Sosial. Jakarta LP3ES.
- Surabaya, 31 Januari 1926, tepat hari ini 92 tahun lalu. Sebuah kelompok yang terdiri dari lima belas kiai terkemuka berkumpul di rumah Wahab Hasbullah 1888-1971. Sebagian besar mereka datang dari Jawa Timur dan masing-masing adalah tokoh pesantren. Jarang terjadi kiai senior berkumpul dalam jumlah sebanyak itu. Tapi dalam kesempatan ini, mereka tengah memikirkan langkah bersama untuk mempertahankan bentuk Islam tradisional yang mereka praktikkan. Setelah melalui diskusi yang gayal, mereka memutuskan mendirikan Nahdlatul Ulama untuk mewakili dan memperkokoh Islam tradisional di Hindia Belanda. Keputusan itu merupakan langkah bersejarah. Sebelumnya, tokoh-tokoh tradisional telah membentuk berbagai organisasi kecil dan bersifat lokal yang bergerak di bidang pendidikan, ekonomi, atau keagamaan. Tetapi baru setelah NU didirikan, sebagian besar kiai mau melibatkan diri mereka dalam sebuah organisasi berskala nasional dengan program kegiatan yang luas. NU berkembang cepat pada awal 1940-an dan mendaku sebagai organisasi Islam terbesar setanah air. Belum pernah terjadi dalam dunia Islam, sebuah organisasi yang dipimpin para ulama berhasil menarik massa pengikut sedemikian banyak. Banyak organisasi Islam modernis didirikan pada kurun waktu 1910-an hingga 1920-an. Yang terbesar di antaranya adalah Muhammadiyah, yang didirikan di Yogyakarta pada 1912. Muhammadiyah merumuskan pola aktivitas yang kemudian banyak ditiru kaum modernis lainnya seperti Persatuan Islam Persis dan al-Irsyad. Polarisasi Tradisionalis-Modernis Sepanjang dua dekade pertama abad ke-20, pembicaraan tentang posisi kaum tradisionalis dan kaum modernis berjalan akrab dan penuh keterbukaan intelektual. Kedua pihak berusaha menemukan persamaan dan membangun saling pengertian. Hal ihwal ini berubah tajam pada awal 1920-an, ketika persaingan muncul di antara kedua pihak. Ada beberapa faktor yang menjadi sebab polarisasi ini. Salah satu yang paling utama adalah kritik kaum modernis terhadap otoritas kiai. Seperti dijelaskan Harry Jindric Benda dalam The Crescent and the Rising Sun 1983, mereka tidak hanya mempertanyakan kompetensi kiai untuk memutuskan hal-hal yang bersifat doktrinal dan berkaitan dengan hukum agama, tetapi juga menyerang budaya “santri berbeda dengan kiai”. Kritik itu ditanggapi dengan sikap bermusuhan oleh para kiai tradisionalis dan pendukungnya yang balik menyerang dengan mempertanyakan motivasi dan kebenaran ilmiah pemikiran kaum modernis hlm. 31. Selain itu, ekspansi organisasi-organisasi modernis ke berbagai kota kecil di Jawa Timur dan Jawa Tengah mengancam basis ekonomi banyak pondok pesantren dan keluarga kiai yang mengendalikannya. Kaum modernis sukses merekrut para pedagang kaya dan tuan tanah yang sebelumnya menjadi pendukung materiil dan keuangan kiai. Kaum tradisionalis menganggap bahwa tantangan keagamaan yang dikombinasikan dengan tantangan materiil ini sebagai ancaman terhadap kepemimpinan kiai di tengah umatnya. Menurut Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967 2003, memburuknya hubungan sangat jelas terlihat dalam Kongres al-Islam yang diselenggarakan di Cirebon, Jawa Barat, pada 1922, yang dihadiri perwakilan dari kelompok-kelompok Islam terbesar. Upaya untuk mencapai kesepakatan dalam hal reformasi pendidikan dan prasyarat melakukan ijtihad berubah menjadi acara saling menghujat di antara kedua pihak hlm. 31. Kaum modernis menuduh kaum tradisionalis sebagai penganut politeisme musyrik dan kaum tradisionalis menuduh kaum modernis sebagai kafir. Perwakilan golongan tradisionalis meninggalkan kongres itu dengan menyimpan kecurigaan yang kuat terhadap kaum modernis dan menolak turut serta dalam kongres-kongres al-Islam selanjutnya hlm. 32. Permusuhan di antara kedua aliran itu semakin memuncak dua tahun selanjutnya. Mereka berselisih pendapat mengenai siapa yang akan mewakili Indonesia dalam Muktamar Dunia Islam, yang akan diselenggarakan di Mekkah pada 1926. Tujuan muktamar itu adalah membahas kegiatan keagamaan di Hijaz setelah berkuasanya pemimpin Wahabi, Ibnu Saud. Kaum modernis pada umumnya menyambut baik rezim baru tersebut, tetapi kaum tradisionalis khawatir apabila Ibnu Saud yang puritan akan membatasi ritual dan praktik mazhab Syafi’i. Dalam Kongres al-Islam tahun 1925 di Yogyakarta, seperti didedahkan Gaffar Karim dalam Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia 1995, utusan tradisionalis dibuat marah oleh kurangnya dukungan dari kaum modernis terhadap usulan mereka agar Ibu Saud diminta menjamin kebebasan cara beribadah bagi semua umat muslim di Mekkah. Mereka merasa lebih kecewa lagi ketika konferensi para pemimpin modernis pada awal Januari 1926 di Cianjur, Jawa Barat, dan Kongres al-Islam pada Februari 1926 di Bandung memutuskan untuk tidak mengikutsertakan kaum tradisionalis dalam delegasi Hindia Belanda ke Hijaz hlm. 50. Peristiwa itu meyakinkan banyak kiai tentang perlunya utusan tersendiri untuk melindungi kepentingan mereka. Dengan maksud inilah, Wahab Hasbullah—atas persetujuan Hasyim Asy’ari—mengundang para ulama terkemuka dari kalangan tradisionalis ke Surabaya pada akhir Januari 1926. Tujuan jangka pendek pertemuan itu adalah mensahkan terbentuknya Komite Hijaz yang akan mengirim delegasi ke kongres Mekkah untuk mempertahankan praktik-praktik kaum tradisionalis. Setelah hal itu disetujui, kemudian diputuskan untuk mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama sebagai representasi Islam tradisional. Manfaat langsung dari keputusan ini ialah semakin kuatnya otoritas Komite Hijaz. Karena mereka dapat mengaku berbicara atas nama organisasi permanen yang beranggotakan para ulama Hindia Belanda dan bukan sekadar sebuah komisi ad hoc. Tujuan jangka panjangnya adalah menciptakan lembaga yang mampu mengkoordinasikan dan mengembangkan respons kaum tradisionalis terhadap ancaman kaum modernis. Nama dan struktur organisasi baru itu menunjukkan adanya dominasi peran para ulama. Pengurus besar Nahdlatul Ulama atau PBNU terbagi atas dua badan, yaitu Syuriah atau Badan Keulamaan, yang terdiri dari para ulama; dan Tanfidziah atau Badan Eksekutif, yang sebagian besar terdiri dari para organisatoris atau Muslim awam. Badan Syuriah diberi wewenang yang sangat besar di bidang legislatif dan keagamaan, sedangkan Tanfidziah memegang peran administratif. Menurut Lathiful Khuluq dalam Fajar Kebangunan Ulama Biografi Hasyim Asy’ari 2000, Hasyim Asy’ari, ulama yang paling disegani dari kelompok pendiri, kemudian dipilih sebagai Ketua Syuriah dan diberi gelar Rais Akbar Ketua Tertinggi. Achmad Dachlan dari Kebondalem ditunjuk sebagai wakilnya, sedangkan Wahab mengisi posisi penting ketiga sebagai Katib Sekretaris hlm. 79. Kebanyakan anggota Syuriah berasal dari Jawa Timur. Banyak di antara mereka yang mempunyai kaitan dengan Tasywirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Nahdhatut Tujjar—tiga organisasi pendahulu Nahdlatul Ulama. Anggota Tandfidziah sebagian besar adalah pengusaha kecil atau tuan tanah. Pembedaan antara ulama dan Muslim awam juga berlaku dalam keanggotaan pada umumnya, dengan memberikan hak-hak khusus bagi para ulama. Reaksi terhadap terbentuknya NU sangat beragam. Banyak kaum modernis yang menaruh kecurigaan dan berkeyakinan bahwa pemerintah kolonial telah membantu pembentukannya untuk menyaingi organisasi seperti Muhammadiyah dan Persis. NU kemudian secara sah diakui pemerintah kolonial pada 1930. Hubungan antara kaum modernis dan kaum tradisionalis semakin memburuk sepanjang akhir 1920-an hingga awal 1930-an. Kaum modernis menuduh NU berkolusi dengan Belanda. Forum terbuka untuk membahas masalah-masalah agama sering berubah menjadi perdebatan sengit dan saling caci maki. Di daerah tertentu bahkan sampai muncul ancaman fisik terhadap kelompok muslim saingannya. Ekspansi ke Luar Jawa lewat Jalur Kultural Dalam Nalar Politik NU & Muhammadiyah Over Crossing Java Sentris 2009, Suaidi Asyari menekankan soal penyebaran nilai-nilai NU melalui jalur kultural. "NU kultural", sebut saja begitu, mengacu pada Islam tradisionalis yang pada umumnya dibayangkan sebagai hubungan “imajinatif” dengan NU. Hubungan ini tidak teridentifikasi oleh keanggotaan atau melalui keterlibatan dalam struktur pengurus NU. Kaum Muslim yang menjalankan ibadah seperti NU akan merasa bahwa mereka terafiliasi dengan NU lebih dari organisasi Islam lain apa pun hlm. 115. Begitu pula sebaliknya. Kaum Muslim yang menjalankan ibadah yang sama dengan platform organisasi NU, akan diklaim sebagai pengikut NU. Ekspansi cabang NU ke luar Jawa cenderung mengikuti pola hubungan ini hlm. 116. Menurut Martin van Bruinessen dalam NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru 1994, pada 1942, terdapat 120 cabang dengan lebih dari pengikut. Mayoritas cabang NU pada periode awal berada di Jawa dan Madura. Di antara enam puluh tiga cabang NU sebelum 1930, hanya sepuluh cabang yang berada di luar Jawa hlm. 41. Ekspansi cabang NU di luar Jawa mengikuti pola perkembangan struktur pemerintahan Republik Indonesia. Ekspansi macam ini, dalam hal tertentu, meneruskan struktur pemerintahan kolonial. Sementara sebagian besar lainnya mengikuti struktur pemerintahan yang baru kapan dan di mana pun pemerintah membentuk struktur pemerintahan baru, selalu diikuti pembentukan pengurus baru NU. Pola ini masih berlaku hingga sekarang. Demikianlah, jumlah pengurus NU umumnya sama dengan jumlah unit pemerintahan, khususnya di tingkat provinsi dan kabupaten di mana terdapat Muslim tradisionalis dalam jumlah yang signifikan. Pada tingkat provinsi, pengurus NU disebut Pengurus Wilayah PW. Di tingkat kabupaten disebut Pengurus Cabang PC. Pada level kecamatan terdapat Majelis Wakil Cabang MWC. Sementara di tingkat terendah terdapat Pengurus Ranting. Akomodasi, Militansi, Nasionalisme Ali Haidar dalam Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik 1998 menjelaskan bahwa Peristiwa Muktamar NU di Banjarmasin pada 1935 membuat keputusan yang menarik dalam kaitan dengan pembelaan negeri dari ancaman musuh bahwa Indonesia adalah negeri Muslim dar al-Islam. Kondisi Indonesia yang dijajah Belanda tidak menghalangi NU membuat keputusan itu. Karena kenyataannya, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan umat Muslim bebas menjalankan syariat agama hlm. 319.Keputusan tersebut diambil dengan pertimbangan bahwa membela negeri yang mayoritas penduduknya Muslim dari ancaman musuh adalah wajib. Walaupun syariat Islam tidak berlaku secara formal di Indonesia, tetapi negeri ini dulunya merupakan negeri Islam yang diperintah oleh raja-raja Islam dan kaum Muslim bebas menjalankan agama. Perihal ini menjadi alasan mengapa NU membuat keputusan untuk melindungi tanah air dan bangsa dari ancaman timbulnya anarki yang lebih besar tanpa melihat sistem kekuasaan yang berlaku. Menjelang kemerdekaan Indonesia, NU melalui wakil-wakilnya turut serta merumuskan Pancasila dan UUD 1945. Pergulatan perjuangan kemerdekaan itu lalu disusul Resolusi Jihad yang mewajibkan umat Muslim membela negara yang baru diproklamasikan sebagai jihad fi sabilillah. Sikap NU ini merupakan tahap lanjutan dari sikap terdahulu. Sebelumnya, NU mengakui tumpah darah dan tanah air Indonesia sebagai wilayah yang harus dilindungi karena wilayah itu adalah wilayah negeri Islam. Maka, ketika kemerdekaan Indonesia tercapai dan diakui sebagai negara berdaulat yang sah, ia harus dibela dari ancaman penjajahan kembali oleh sampai hari ini NU tetap konsisten menyerukan persaudaraan nasional antara rakyat Indonesia dari agama yang berbeda-beda ukhuwah wathaniyah dan membawa kaum ulama memperjuangkan kedamaian. Itulah salah satu peran terbesar NU. - Sosial Budaya Reporter Muhammad IqbalPenulis Muhammad IqbalEditor Ivan Aulia Ahsan
Oleh Hamdan In’ami Nahdlatul ulama NU didirikan ulama besar Indonesia Syeikh Akbar KH M Hasyim Asy'ari pada 16 Rajab 1344 H/ 31 Januari 1926. NU didirikan sebagai wadah atas kegelisahan beliau terhadap situasi yang terjadi di Indonesia pada saat itu. Di samping itu Mbah Hasyim memang memiliki cita-cita terbentuknya organisasi Islam di Indonesia yang mampu mengimplementasikan hukum dan pengetahuan agama Islam yang berhaluan Ahlussunah wal Jamaah. Untuk mencapai cita-cita tersebut, terlebih dahulu Mbah Hasyim mendirikan madrasah diniyah dan pondok pesantren sebagai pusat kajian Islam sebelum mendirikan NU. Untuk menyatukan visi dan misi antar pondok pesantren maka terbentuklan organisasi bernama Nahdlatul Ulama. Cita-cita mulia Mbah Hasyim Asy’ari membangun pesantren tiada lain adalah bagaimana pondok pesantren berperan penuh dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Umat tidak bisa dikatakan berkualitas apabila generasinya krisis keilmuan. Kualitas umat tergantung dari berapa besar kualitas keilmuannya. Itulah prinsip beliau sepulang dari menimba ilmu dari Makkah. "Tidak ada kebaikan sama sekali dalam suatu bangsa ketika generasinya bodoh-bodoh; dan bangsa tidak akan menjadi baik, maju dan berperadaban kecuali dengan ilmu," Muhammad Asad Syahab, Al-'Allamah Muhammad Hasyim Asy'ari Wadhi' Lubnah Istiqlal Indunisiya, [Beirut, Darus Shadiq 1391 H/1971 M], cetakan pertama, halaman 12. Di dalam perkembangan perjalanannya, ternyata pesantren mampu memerankan cita-cita Hadratussyeikh dalam menjawab dan memberikan solusi dalam mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Pesantren menjadi garda terdepan dalam mempertahankan kesatuan Republik Indonesia dengan baik. Keberhasilan pesantren mengawal kemurnian ajaran Islam ala Thoriqoti Ahlissunah wal Jamaah tidak lepas dari intensitas pesantren dalam memanamkan dan mengajarkan sikap tawazzun, tawassuth dan tasammuh toleransi terhadap Para santri dan masyarakat. Dengan sikap inilah ajaran Islam mudah untuk diterima dan diamalkan. Dan sampai saat ini eksistensi metode pondok pesantren belum tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dinamika pesantren telah mejawab tantangan zaman. Salah satu tulisan KH Abdurrahman Wahid Gus Dur cucu KH. Hasyim Asy’ari dalam buku Pesantren dan Pembaharuan menyebutkan bahwa ada tiga elemen dasar yang mampu membentuk pondok pesantren sebagai subkultur. Pertama, pola kepemimpinan pondok pesantren yang mandiri, tidak terpengaruh oleh Negara. Kedua, kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad. Ketiga, system nilai value system yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas. Dari ketiga elemen tadi, dinyatakan bahwa pondok pesantren memiliki hubungan yang sangat erat dengan kehidupan masyarat Indonesia. Pesantren merupakan salah satu pilar utama penopang pendidikan di bumi nusantara. Catatan sejarah membuktikan, ribuan pesantren saat ini telah berdiri, tumbuh, dan berkembang, sehingga puluhan ribu bahkan ratusan ribu lebih orang Indonesia ikut merasakan pola pembelajaran pondok pesantren. Di usia Nahdlatul Ulama yang ke-94 istilah pondok pesantren sudah banyak sekali tertahrif terdistorsi dengan istilah menjamurnya pondok-pondok pesantren yang sebenarnya memiliki ideologi yang berlawanan dengan pesantren yang berhaluan Ahlussunah wal Jamaah. Akhirnya kondisi ini mengakibatkan kaburnya istilah pondok pesantren di kalangan masyarakat. Tantangan terbesar adalah bagaimana NU mempertahankan kemurnian dan eksistensi pondok pesantren an Nahdliyah sebagai pusat kajian ilmiah Islam dan pusat pembentukan karakter yang sesuai dengan ajaran agama Islam yang mengedepankan Rahmatan lil Alamin. Kendati demikian, tidak bisa dipungkiri, kontribusi pesantren terhadap bangsa sudah sangat banyak. Dukungan yang lebih besar dari pemerintah sangat diharapkan pesantren. Namun, tidak sepatutnya apabila pesantren dijadikan ladang politik semata oleh individu ataupun kelompok manapun untuk memuluskan kepentingan pribadinya. Hal ini dipastikan akan menghilangkan nilai-nilai kepesantrenan. Tetap jayalah pesantrenku, kutitipkan generasiku padamu demi mengharap peradaban Islam yang lebih maju. Selamat Hari Lahir ke-94 NU. Penulis adalah Ketua RMI PCNU Lampung Timur
apa motivasi para ulama pesantren mendirikan organisasi nahdlatul ulama